Thursday, February 16, 2006

KEMERDEKAAN SEJATI HADIR DARI KEBERANIAN MENGIKUTI KATA HATI



Memasuki bulan Agustus ini, kita mulai menyaksikan adanya sesuatu yang berbeda di jalan-jalan, di ujung-ujung gang, dan di jalan-jalan perkampungan. Warna merah putih menghiasi jalan-jalan dan perkampungan. Mulai melangkah lebih jauh lagi pada bulan Agustus, kita mulai saksikan perlombaan-perlombaan digelar di gang-gang perkampungan. Anak-anak larut dalam kegembiraan merayakan peringatan hari kemerdekaan yang sebenarnya belum mereka ketahui. Wajarlah, masih anak-anak. Mereka hanya berkeinginan untuk mendapatkan hadiah dan merasa senang saat mengikuti lomba.

Tak ketinggalan dengan anak-anak mereka yang berkompetisi dalam lomba balap karung, makan kerupuk, memasukkan ballpoint ke dalam botol, mengambil koin dari labu, pecah air, membawa kelereng, pecah balon, dan juga memindah belut; orang tua dan kakak-kakak mereka pun juga ikut larut dalam perayaan-perayaan lomba. Ya, semua rakyat dari seluruh lapisan larut dalam perlombaan-perlombaan merayakan hari kemerdekaan RI mulai dari kampung, pedesaan, perkotaan, pabrik, pasar, kantor, dan seluruh pelosok tanah air.

Puncak dari segala puncak itu nantinya adalah pada saat peringatan Detik-detik Proklamasi yang akan berlangsung pada tanggal 17 Agustus tepat pada puku 10.00 WIB. Dan sebagai penutup dari perayaan proklamasi kemerdekaan itu nantinya biasanya akan diisi dengan pawai dan karnaval hari kemerdekaan di jalan-jalan perkotaan.

Terlihat sejenak berpikir di ujung jalan sesosok bayangan dengan perawakan biasa memandang jauh seolah tak bertepi. Dari sudut matanya terlihat tatapan yang menerobos memandang relung-relung kehidupan.

Bisik dalam hatinya lirih berkata,”Apa ini yang disebut kemerdekaan?”

Tak berapa lama, ia ayunkan kakinya menuju sebuah masjid. Ia duduk dan terlihat mulai diam merenung tentang sesuatu. Saraf-saraf dalam otaknya mulai bergerak-gerak memutar klise-klise memori sejarah dan analisa. Ia coba mengingat kembali lembaran-lembaran sejarah bangsa dan negaranya tercinta, Indonesia. Ia perintahkan otaknya memutar kembali file-file pelajaran-pelajaran sejarah yang telah ia rekam dari pelajaran di sekolah dan bacaan-bacaan yang dibacanya.

Ia ingat bagaimana dahulu para pejuang-pejuang mengangkat senjata. Memorinya mengenang keperkasaan Teuku Umar dan Cut Nyak Dien melawan Penjajah. Ia ingat betul bagaimana masyarakat Aceh adalah masyarakat yang paling kuat dalam melawan penjajah. Ia juga ingat betul bagaimana masyarakat Aceh rela memberikan derma mereka untuk membangun Indonesia melalui urunan uang mereka.

Memori sang pria pun tiba-tiba berbalik kepada kenangan cerita sejarah Imam Bonjol yang dikalahkan oleh pengkhianat bangsa, kenangan sejarah Pangeran Diponegoro yang dikhianati oleh orang sebangsa sendiri. Berturut-turut ia ingat kembali akan perjuangan Sultan Hasanudin, Sultan Agung, dan Patimura. Selanjutnya, bayangnya melihat peranan Syarekat Dagang Islam sebagai organisasi pergerakan pertama yang berdiri di Indonesia yang berorientasi pada rakyat secara nasional.

“Bukan Budi Utomo yang pertama kali berdiri” katanya lirih dalam hati.

“Budi Utomo adalah organisasi lokal yang berdiri jauh sesudah berdirinya Syarekat dagang Islam.” keluhnya.

”Ia hanya berorientasi lokal dan tidak memiliki program kerakyatan. Dia hanya kumpulan para bangsawan yang sok pahlawan mengklaim diri sebagai organisasi pertama yang bergerak merebut kemerdekaan. Bohong besar!” batinnya berkata lantang.

Tak berapa lama, ia terbangun dari lamunannya. Ia lihat beberapa meter dari masjid tempat duduknya, sebuah perayaan kemerdekaan. Dengan diiringi musik-musik, terlihat seorang wanita berjoget menyanyikan lagu dangdut, lalu berturut-turut sepasang suami istri berkaraoke bernyanyi tembang kenangan, dan tak ketinggalan seorang bocah berjoget mengikuti gaya joget para penyanyi dangdut di negara ini mengiringi nyanyian. Sang bocah dengan perasaan senang meliuk-liukkan tubuhnya dan memutar-mutar kepalanya. Gaya jogetnya seperti gaya penyanyi yang dikritik oleh Sang Raja Dangdut hingga menangis.

“Apa ini arti kemerdekaan?” kata sang pria.

“Mau dibawa kemana bangsa ini? Tak kudapatkan sejarah cerita adanya pesta semacam ini di zaman perjuangan dulu. Dimana sisa-sisa cucuran keringat dan darah serta nyanyian peluru dan dentuman meriam para pendahulu?” kata batinnya.

“Bangsa ini belum merdeka!!! Belum merdeka!!!” bisiknya lirih.

“Bangsa ini masih dibelenggu oleh kekuasan kapitalis, dan dijajah oleh para pengkhianat-pengkhianat bangsa yang mengklaim dirinya nasionalis atau pejuang. Padahal kalian adalah anak keturunan para pengkhianat yang menyerahkan nyawa para pejuang Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, dan lainnya kepada sekutunya, sang penjajah Belanda yang menyebarkan misi suci 3G. Gold, Glory, dan Gospel. Kalianlah yang menipu rakyat dengan jiwa sok nasionalis yang mengahabiskan waktu kalian untuk pesta dan uang semata. Kalianlah yang memfitnah para pejuang dengan sebutan para pemberontak, teroris, dan gerombolan. Kalian yang berkuasa tak beda dengan para pengkhianat bangsa di zaman Perang Paderi, yang justru membawa kehancuran bangsa ini. Bangsa ini belum merdeka! Bangsa ini hanya merdeka jika rakyat ini telah menikmati udara hukum sang Maha Kuasa terlaksana!!!” berontaknya di dalam hati.

Tak kuat melihat perayaan peringatan penuh kedustaan itu, sang pria tersebut pun bangun dari duduknya. Ia ayunkan kakinya segera melangkah menjauh dari riuh-rendah musik peringatan hari kemerdekaan itu. Di ujung lorong jalan, tak berapa lama, ia pun hilang dalam bayangan gelap malam

Monday, February 13, 2006

Hitler Compared To Mussolini

Hitler and Mussolini
At the close of World War One tensions still rode high between countries, trade slowed and unemployment rose. A new form of government was also used, totalitarianism. This form of government means there is only one leader to make decisions and thus they killed or jailed all opponents.

Friday, January 6, 2006

Weekender: “The King of Oil” Review

King of Oil
Is there any prospect as frightening as a political show trial in the court of public opinion?
Reading about the 17-year government witch hunt for Marc Rich – the global commodities trader credited with inventing the spot oil market – I was reminded of an old quote attributed to Cicero:

A bureaucrat is the most despicable of men, though he is needed as vultures are needed, but one hardly admires vultures whom bureaucrats so strangely resemble. I have yet to meet a bureaucrat who was not petty, dull, almost witless, crafty or stupid, an oppressor or a thief, a holder of little authority in which he delights, as a boy delights in possessing a vicious dog. Who can trust such creatures?

Tuesday, October 25, 2005

The Pyramids of Giza

The Pyramids of Giza
The Pyramids of Giza are over 4500 years old. They were built as the burial places for Khufu, Khfare, and Menkaure, three Pharaohs during the Old Kingdom.
Each pyramids at Giza has a name; "Khufu's Horizon", Khafre is Great", and "Menkaure is Divine." As divine places, all the pyramids are believed to have had names, even the small ones, and there are over 100 pyramids scattered around Egypt. One of my favorites is "Djedefre's Starry Sky."

Monday, October 3, 2005

The Bermuda Triangle History

The Bermuda Triangle
The "Bermuda Triangle" or "Devil's Triangle" is an imaginary area located off the southeastern Atlantic coast of the United States of America, which is noted for a supposedly high incidence of unexplained disappearances of ships and aircraft. The apexes of the triangle are generally believed to be Bermuda; Miami, Florida; and San Juan, Puerto Rico. The US Board of Geographic Names does not recognize the Bermuda Triangle as an official name. The US Navy does not believe the Bermuda Triangle exists. It is reported that Lloyd's of London, the world's leading market for specialist insurance, does not charge higher premiums for vessels transiting this heavily traveled area.

Thursday, September 29, 2005

Panayotis Kondylis and the obsoleteness of conservatism (Paul Gottfried)

Panajotis Kondylis
Panajotis Kondylis (1943-), a Greek scholar who lives in Heidelberg and writes in German, may be, unbeknownst to himself, one of the great conservative thinkers of our age. Describing Kondylis as a conservative might leave him and his readers puzzled. His five-hundred page work Conservatism (1986) examines “the historical content and decline” of its subject. For Kondylis, conservatism had already declined in the last century as a major political force. It was the ideal of an essentially medieval hierarchical society defended by landed aristocrats and their intellectual followers.

Sunday, September 11, 2005

Indonesia

Indonesia's Flag

 

Geography

Indonesia is an archipelago in Southeast Asia consisting of 17,000 islands (6,000 inhabited) and straddling the equator. The largest islands are Sumatra, Java (the most populous), Bali, Kalimantan (Indonesia's part of Borneo), Sulawesi (Celebes), the Nusa Tenggara islands, the Moluccas Islands, and Irian Jaya (also called West Papua), the western part of New Guinea. Its neighbor to the north is Malaysia and to the east is Papua New Guinea.
Indonesia, part of the “ring of fire,” has the largest number of active volcanoes in the world. Earthquakes are frequent. Wallace's line, a zoological demarcation between Asian and Australian flora and fauna, divides Indonesia.

Government

Republic.

History

The 17,000 islands that make up Indonesia were home to a diversity of cultures and indigenous beliefs when the islands came under the influence of Hindu priests and traders in the first and second centuries A.D. Muslim invasions began in the 13th century, and most of the archipelago had converted to Islam by the 15th century. Portuguese traders arrived early in the next century but were ousted by the Dutch around 1595. The Dutch United East India Company established posts on the island of Java, in an effort to control the spice trade.
After Napoléon subjugated the Netherlands in 1811, the British seized the islands but returned them to the Dutch in 1816. In 1922, Indonesia was made an integral part of the Dutch kingdom. During World War II, Japan seized the islands. Tokyo was primarily interested in Indonesia's oil, which was vital to the war effort, and tolerated fledgling nationalists such as Sukarno and Mohammed Hatta. After Japan's surrender, Sukarno and Hatta proclaimed Indonesian independence on Aug. 17, 1945. Allied troops, mostly British Indian forces, fought nationalist militias to reassert the prewar status quo until the arrival of Dutch troops.

 

insight Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger